Corona pada Kacamata Perbankan Syariah
Sejak pertama kali terkonfirmasi sebuah virus yang
menyerang kesehatan masyarakat di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019 lalu,
seluruh dunia saat ini masih menghadapi sebuah wabah yang disebabkan oleh virus
corona. Coronavirus merupakan virus yang dapat mengganggu
sistem pernapasan pada manusia. Berdasarkan data Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19, penyebaran virus
corona saat ini setidaknya telah menyebar ke 216 negara dengan kasus
terkonfirmasi sebanyak 17.660.523 kasus dengan jumlah kematian 680.894 kasus.
Di Indonesia sendiri telah terkonfirmasi positif corona sebanyak 115.056 kasus
dengan rincian 5.388 jiwa meninggal dan 72.050 kasus sembuh.
Tidak dapat dipungkiri, penyebaran virus corona tentu
juga mengganggu mobilitas masyarakat. Langkah preventif yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu dengan penetapan aturan jaga jarak
secara fisik (physical distancing), jaga jarak sosial (social
distancing), hingga karantina wilayah (lockdown). Hal ini dilakukan untuk menghambat penyebaran virus
corona. Di Indonesia sendiri pemerintah memilih untuk melakukan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar). Pengambilan aturan ini tentu saja berdampak
pada masyarakat terutama di sektor ekonomi. Kebijakan yang diambil membuat
masyarakat harus tetap berada di rumah, sehingga hal ini tentu saja berdampak pada penghasilan
masyarakat.
Dampak penyebaran virus corona juga dirasakan oleh
sektor ekonomi tidak terkecuali sektor perbankan. Risiko-risiko seperti risiko
kredit yang merupakan risiko gagal bayar debitur dalam memenuhi kewajibannya
terhadap bank. Kemudian risiko pasar yang merupakan risiko yang terjadi akibat
adanya perubahan harga yang disebabkan oleh perubahan kondisi pasar.
Selanjutnya risiko likuiditas yang merupakan risiko yang terjadi karena bank
tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo kepada debitur. Ketiga
risiko di atas juga tidak dapat dihindarkan pada sektor perbankan syariah.
Langkah yang diambil untuk menanggulangi dampak
dari virus corona, pemerintah melalui OJK telah menerbitkan sebuah aturan
mengenai Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical sebagai
Dampak dari Penyebaran Covid-19 yang tertuang dalam POJK NO.11/POJK.03/2020.
Aturan ini diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan relaksasi kepada nasabah
perbankan yang terkena dampak dari penyebaran virus corona melalui
restrukturisasi dan rescheduling pembiayaan baik nasabah Usaha
Menengah Kecil Mikro (UMKM) maupun Non UMKM.
Bank Syariah dalam kegiatan
operasionalnya menerapkan nisbah bagi hasil serta menjalankan prinsip adil dan seimbang
dengan mementingkan maslahat. Dengan keunikan yang dimiliki bank syariah ini
dapat meminimalkan risiko yang akan dihadapi bank pada masa pandemi Covid-19 saat ini.
Meskipun pada sisi penyaluran pembiayaan mengalami penurunan dengan adanya
pandemi ini dikarenakan permintaan dari pelaku usaha
maupun perusahaan sangat rendah, bank syariah yang menjalankan
operasionalnya menggunakan sistem bagi hasil diperkirakan memiliki keunggulan
dibandingkan bank konvensional. Hal ini disebabkan sistem bagi hasil yang
diterapkan pada bank syariah akan membuat kondisi neraca bank syariah pada masa
pandemi saat ini tetap elastis.
Saat ini Indonesia telah memasuki new normal (era baru), kondisi ini
juga tidak luput dari perhatian bank syariah. Dalam memasuki fase new normal ada beberapa strategi yang dapat dilakukan
oleh bank syariah yaitu :
1. Melakukan mitigasi risiko dengan cara restrukturisasi pinjaman dengan memilih secara hati-hati debitur yang layak untuk direstrukturisasi. Pemberian restrukturisasi ini akan menekan pendapatan bank. Di samping itu, bank juga dihadapkan pada risiko likuiditas yang berpotensi mengetat karena pemberian restrukturisasi.
2. Fokus pada industri yang memiliki prospek. Pada dasarnya apapun yang terjadi bank harus mengembalikan dana kepada nasabah deposannya dan bank harus tetap tumbuh.
3. Mengembangkan Digital Banking dan Digital Marketing, kondisi pandemi corona saat ini menguji layanan digital banking perbankan syariah apakah sudah baik penggunaannya oleh nasabah. Perbankan syariah mau tidak mau harus melakukan digital marketing. Kondisi pandemi memaksa semua pertemuan dilakukan secara virtual. Hal tu harus dimanfaatkan sebagai ajang untuk berjualan.
4. Melakukan pendampingan kepada pelaku UMKM dengan membantu mendigitalisasi segmen usaha ini agar bisa tetap hidup. Bentuk pendampingan ini dapat diwujudkan melalui Tanggung Jawab Sosial atau dalam istilah perbankan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk virtual.
5. Fase terakhir yang paling penting adalah perbankan syariah harus bisa kreatif dan inovatif dan tidak menggunakan cara yang lama di saat pandemi ini, perbankan syariah dituntut untuk mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi saat ini.
Jika dilihat dari
kacamata perbankan syariah akan terlihat sangat jelas dampak signifikan dari
penyebaran Covid-19 yang tengah mewabah di negeri kita ini. Pemaparan di atas
memberikan kita pelajaran untuk selalu was-was dalam bertindak. Melalui
strategi fase new normal, perbankan syariah bisa menerapkan
langkah-langkah tersebut di kehidupan sehari-hari agar tujuan yang diinginkan
perbankan syariah bisa tercapai dengan semestinya.
Posting Komentar untuk "Corona pada Kacamata Perbankan Syariah"